Ressy

HIDUP SEPERTI BAWANG!!! Always Love for SAINS!

Jumat, 11 Januari 2013

The Perfect Boy Friend Chapter 1

The Perfect Boy Friend

Oleh Ressy Kartika Sari

Chapter 1

 
Gelap...
Gelap...
Dimana cahaya?
Cahaya itu...
Tap! Tap! Tap!
Siapa dia?
“Dinda!!! Ayo bangun sudah pagi! Katanya kamu harus datang lebih awal ke sekolah?”
Dinda terbangun dari mimpi. Ia mendengar suara sayup-sayup dari dapur rumahnya. Ibunya tercinta hendak membangunkannya dari mimpinya malam tadi. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
“Iya bu.” jawabnya malas.
Dinda beranjak dari kasurnya dan mulai melangkah menuju kamar mandi. Ia meraih handuknya dan menggantungkan handuknya dilehernya. Ia masih menyipitkan matanya untuk melihat keadaan sekitarnya agar ia tidak tersandung benda-benda yang berserakan di lantai kamarnya.
Adinda Widya Purnama. Itulah nama gadis yang baru saja berusia 16 tahun beberapa bulan yang lalu. Ia dikenal teman-temannya gadis remaja yang ceria. Namun ia memang kurang dalam bersosialita, hidupnya selalu dipenuhi dengan ambisi untuk mendapatkan juara kelas. Ia bahkan sudah merancang hidupnya dalam peta cita-cita selama sepuluh tahun kedepan. Diusianya yang masih terkesan muda, ia sudah mencanangkan akan bersekolah sampai S3 dan menikah diusia 28 tahun setelah ia sukses. Cita-citanya yang ingin menjadi dokter bedah semakin membuatnya tidak memikirkan kehidupan percintaannya.
Sebenarnya Dinda, panggilan kecilnya, memiliki alasan berperilaku seperti ini. Bukannya ia tidak memikirkan kisah cintanya, namun tepatnya setahun yang lalu, ia telah dikecewakan oleh pria yang ia cintai. Tentu hal itu membuatnya tidak ingin memikirkan kisah cinta yang dapat membuat hidupnya berantakan.
Dinda berlari layaknya secepat kilat menuju sekolah. Tak lupa ia menanti bus kopaja menuju sekolahnya di halte. Ia melihat jam tangannya. Waktu menunjukan pukul enam pagi. Ia mengetuk-etukkan sepatunya pada aspal jalanan. Beberapa menit kemudian bus yang ia tunggu-tunggu telah tiba. Ia beruntung karena jika berangkat pagi, bus yang ia naiki masih longgar dan tidak berdesak-desakkan.
Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit, gadis berambut panjang ini telah tiba di sekolahnya. Sekolah yang dapat dikatakan sangat mewah untuk gadis yang hidup dalam kehidupan yang sangat sederhana.
“Hah.”
Dinda menghela nafasnya. Sesungguhnya ia tidak begitu nyaman dengan kehidupannya di sekolah ini, tetapi bukan berarti ia tidak suka bersekolah. Hanya saja, ia tidak begitu senang dengan teman-teman ah tidak, itu tidak dapat dikatakan teman, orang-orang itu hanya hidup dalam kesenangan yang memikirkan semua barang-barang bermerek. Meskipun semua orang di sekolahnya seperti itu, tetapi mereka tetap berprestasi tentunya karena uang.
Berbeda dengan pria itu. Pria yang ia kagumi sejak ia masuk ke sekolah ini. Pria yang kini tengah duduk ditaman sekolah dengan sebuah buku yang bertengger ditangan kanannya. Raut wajahnya yang serius membuat rasa ngilu di hati Dinda. Tunggu! Ini hanya sebatas kagum. Dinda sangat tahu benar bahwa pria itu pintar karena giat belajar. Keseharian yang selalu ia lihat bahwa pria itu selalu membawa buku yang berbeda dengan topik yang cukup menarik.
Pria itu tentu memiliki nama, ia bernama Deval Sastrawijaya. Tentu siapapun tahu bahwa ayahnya sangat hebat dalam urusan bisnis perhotelan. Hampir disetiap negara hotel Sastrawijaya berdiri. Tidak hanya karena ia rajin belajar dan orangtuanya kaya raya, tetapi ia juga memiliki wajah yang tampan. Ketampanannya itu mampu membius hati semua perempuan. Tentu bagi Dinda yang notabennya ingin tetap kelihatan keren, ia berakting layaknya tidak peduli dengan Deval.
Tidak hanya itu saja, banyak hal yang membuat Dinda merasa tidak akan pernah dapat berteman dekat dengan Deval, tetapi karena Dinda hanya murid beasiswa dan cita-citanya tentu harus mengalahkan prestasi pria tampan itu.
Dinda tidak hanya diam melamun melihat pria yang ia kagumi serta rivalnya itu menang secara telak kali ini. Meskipun Dinda selalu menjadi peringkat pertama, namun beberapa bulan lagi akan ada ujian kenaikkan kelas yang menentukkan dirinya dapat masuk ke jenjang IPA maupun IPS. Tentu gadis ini berambisi masuk ke jenjang IPA sebab ia ingin bertemu dengan Deval dan bersaing secara terang-terangan. Alasannya tentu karena sebelumnya mereka tidak pernah satu kelas.
Dinda berjalan menuju perpustakaan sekolahnya. Ia merasa sangat kecewa karena perpustakaan sekolah tidak biasanya masih tutup.
“Penjaga perpusnya lagi sakit.”
Dinda menolehkan wajahnya menuju sumber suara itu. Ia terhenyak. Dengan senyuman manis terukir diwajah tampan itu, ia menunjukkan keakraban. Tentu tidak lain orang itu adalah pria yang tadi ia lihat di taman belakang sekolah.
“O-oh. Te-terus bukanya jam berapa?”
“Sorry, gue gak tahu.”
“O-oh thanks deh.”
“Sama-sama.”
Pria tampan itu berjalan melewatinya dengan memasukkan salah satu tangannya kedalam saku dan tangan yang lainnya membawa buku yang sedari tadi ia pegang. Dengan rasa keraguan Dinda memanggil pria itu.
“Tu-tunggu.”
Pria itu menoleh.
“Bu-buku itu... kayaknya bagus.”
“Oh, iya. Lumayan.” Ia menyunggingkan senyumannya.
“Te-tentang apa?”
“Mikroba. Haha, jangan gugup.” ucapnya.
“A-apa? Gue gak gugup kok.”
“Masa? Keliatannya...”
“Gue boleh pinjem gak? Itu kalo lo gak keberatan.”
“Oke, kebetulan ini udah gue baca.”
“Wahhh! Serius? Makasih yaa...”
“Hebat ya, tumben ada yang suka buku juga di sekolah ini.” ucapnya sambil menyerahkan buku itu ketangan Dinda.
“Eh?”
“Gak apa. Gue kekelas dulu ya.”
“I-iya, thanks banget.”
“Kalo lo mau, buat lo ajah.”
“Hah? Serius?”
“Ya.”
‘Ya Tuhan...’ bisik Dinda dalam hati.
***
Istirahat makan siang bukanlah waktu untuk Dinda bersantai-santai tetapi ia harus belajar dengan giat karena ia sore nanti ia harus menghadapi ujian di tempat kursusnya. Ia tidak peduli dengan perutnya yang kosong dan berdemo untuk makan siang. Ia tetap fokus belajar untuk ujian nanti.
“Din, lo gak mau makan apa?” seru Linda.
“Iya, kasian noh perut lo udah maen drum.” Tita menambahi.
Linda dan Tita merupakan sahabat satu-satunya bagi Dinda di sekolah ini. Meskipun mereka juga dari keluarga berada setidaknya mereka tidak berlebihan seperti murid-murid yang lainnya. Sudah mendekati setahun lamanya mereka berteman, berawal sejak berkenalan diacara MOS di sekolah. Dinda merasa bersyukur bahwa dirinya dapat berteman dengan kedua orang itu.
“Gue gak laper.”
“Ciyusan[1] nih?”
“Etdah Tita, jangan jadi alay dulu.”
“Ish, Linda, Tita kan cuman bercanda.”
“Mau makan gak Din?”
“Gak, makasih.”
“Yaudin[2]. Tita, ayo makan.”
Dinda menghela nafasnya. Sebenarnya ia juga lapar, tetapi ia harus berhemat karena ia harus pergi kursus sore ini. Dinda menghentikan gerakan penanya. Melihat sekilas buku yang diberikan Deval tadi pagi. Tentu itu begitu menggelitik untuknya. Semangat untuk belajar lebih giat tentu menjadi nomor satu akan buku itu. Ia berharap jika suatu hari nanti ia dapat setara dengan Deval. Setara dengan pria yang selalu menjadi buah bibir “The Perfect Boy Friend”.
“Semangat Dinda!”
***


[1] Semacam lelucon untuk menyatakan “serius”
[2] Semacam bahasa gaul yang menyatakan “ya sudah” hanya sebagai lelucon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate My Post