The Perfect Boy Friend
Oleh
Ressy Kartika Sari
Gelap...
Gelap...
Dimana cahaya?
Cahaya itu...
Tap! Tap! Tap!
Siapa dia?
“Dinda!!! Ayo bangun
sudah pagi! Katanya kamu harus datang lebih awal ke sekolah?”
Dinda terbangun dari
mimpi. Ia mendengar suara sayup-sayup dari dapur rumahnya. Ibunya tercinta
hendak membangunkannya dari mimpinya malam tadi. Ia mengusap wajahnya dengan
kedua tangannya.
“Iya bu.” jawabnya
malas.
Dinda beranjak dari
kasurnya dan mulai melangkah menuju kamar mandi. Ia meraih handuknya dan
menggantungkan handuknya dilehernya. Ia masih menyipitkan matanya untuk melihat
keadaan sekitarnya agar ia tidak tersandung benda-benda yang berserakan di lantai
kamarnya.
Adinda Widya Purnama.
Itulah nama gadis yang baru saja berusia 16 tahun beberapa bulan yang lalu. Ia
dikenal teman-temannya gadis remaja yang ceria. Namun ia memang kurang dalam
bersosialita, hidupnya selalu dipenuhi dengan ambisi untuk mendapatkan juara
kelas. Ia bahkan sudah merancang hidupnya dalam peta cita-cita selama sepuluh
tahun kedepan. Diusianya yang masih terkesan muda, ia sudah mencanangkan akan
bersekolah sampai S3 dan menikah diusia 28 tahun setelah ia sukses.
Cita-citanya yang ingin menjadi dokter bedah semakin membuatnya tidak
memikirkan kehidupan percintaannya.
Sebenarnya Dinda,
panggilan kecilnya, memiliki alasan berperilaku seperti ini. Bukannya ia tidak
memikirkan kisah cintanya, namun tepatnya setahun yang lalu, ia telah
dikecewakan oleh pria yang ia cintai. Tentu hal itu membuatnya tidak ingin
memikirkan kisah cinta yang dapat membuat hidupnya berantakan.
Dinda berlari layaknya
secepat kilat menuju sekolah. Tak lupa ia menanti bus kopaja menuju sekolahnya
di halte. Ia melihat jam tangannya. Waktu menunjukan pukul enam pagi. Ia
mengetuk-etukkan sepatunya pada aspal jalanan. Beberapa menit kemudian bus yang
ia tunggu-tunggu telah tiba. Ia beruntung karena jika berangkat pagi, bus yang
ia naiki masih longgar dan tidak berdesak-desakkan.
Hanya membutuhkan waktu
tiga puluh menit, gadis berambut panjang ini telah tiba di sekolahnya. Sekolah
yang dapat dikatakan sangat mewah untuk gadis yang hidup dalam kehidupan yang
sangat sederhana.
“Hah.”
Dinda menghela
nafasnya. Sesungguhnya ia tidak begitu nyaman dengan kehidupannya di sekolah
ini, tetapi bukan berarti ia tidak suka bersekolah. Hanya saja, ia tidak begitu
senang dengan teman-teman ah tidak, itu tidak dapat dikatakan teman,
orang-orang itu hanya hidup dalam kesenangan yang memikirkan semua
barang-barang bermerek. Meskipun semua orang di sekolahnya seperti itu, tetapi
mereka tetap berprestasi tentunya karena uang.
Berbeda dengan pria
itu. Pria yang ia kagumi sejak ia masuk ke sekolah ini. Pria yang kini tengah
duduk ditaman sekolah dengan sebuah buku yang bertengger ditangan kanannya.
Raut wajahnya yang serius membuat rasa ngilu di hati Dinda. Tunggu! Ini hanya
sebatas kagum. Dinda sangat tahu benar bahwa pria itu pintar karena giat
belajar. Keseharian yang selalu ia lihat bahwa pria itu selalu membawa buku
yang berbeda dengan topik yang cukup menarik.
Pria itu tentu memiliki
nama, ia bernama Deval Sastrawijaya. Tentu siapapun tahu bahwa ayahnya sangat
hebat dalam urusan bisnis perhotelan. Hampir disetiap negara hotel Sastrawijaya
berdiri. Tidak hanya karena ia rajin belajar dan orangtuanya kaya raya, tetapi
ia juga memiliki wajah yang tampan. Ketampanannya itu mampu membius hati semua
perempuan. Tentu bagi Dinda yang notabennya ingin tetap kelihatan keren, ia
berakting layaknya tidak peduli dengan Deval.
Tidak hanya itu saja,
banyak hal yang membuat Dinda merasa tidak akan pernah dapat berteman dekat
dengan Deval, tetapi karena Dinda hanya murid beasiswa dan cita-citanya tentu
harus mengalahkan prestasi pria tampan itu.
Dinda tidak hanya diam
melamun melihat pria yang ia kagumi serta rivalnya itu menang secara telak kali
ini. Meskipun Dinda selalu menjadi peringkat pertama, namun beberapa bulan lagi
akan ada ujian kenaikkan kelas yang menentukkan dirinya dapat masuk ke jenjang
IPA maupun IPS. Tentu gadis ini berambisi masuk ke jenjang IPA sebab ia ingin bertemu
dengan Deval dan bersaing secara terang-terangan. Alasannya tentu karena
sebelumnya mereka tidak pernah satu kelas.
Dinda berjalan menuju
perpustakaan sekolahnya. Ia merasa sangat kecewa karena perpustakaan sekolah
tidak biasanya masih tutup.
“Penjaga perpusnya lagi
sakit.”
Dinda menolehkan
wajahnya menuju sumber suara itu. Ia terhenyak. Dengan senyuman manis terukir
diwajah tampan itu, ia menunjukkan keakraban. Tentu tidak lain orang itu adalah
pria yang tadi ia lihat di taman belakang sekolah.
“O-oh. Te-terus bukanya
jam berapa?”
“Sorry, gue gak tahu.”
“O-oh thanks deh.”
“Sama-sama.”
Pria tampan itu
berjalan melewatinya dengan memasukkan salah satu tangannya kedalam saku dan
tangan yang lainnya membawa buku yang sedari tadi ia pegang. Dengan rasa
keraguan Dinda memanggil pria itu.
“Tu-tunggu.”
Pria itu menoleh.
“Bu-buku itu...
kayaknya bagus.”
“Oh, iya. Lumayan.” Ia
menyunggingkan senyumannya.
“Te-tentang apa?”
“Mikroba. Haha, jangan
gugup.” ucapnya.
“A-apa? Gue gak gugup
kok.”
“Masa? Keliatannya...”
“Gue boleh pinjem gak?
Itu kalo lo gak keberatan.”
“Oke, kebetulan ini
udah gue baca.”
“Wahhh! Serius? Makasih
yaa...”
“Hebat ya, tumben ada
yang suka buku juga di sekolah ini.” ucapnya sambil menyerahkan buku itu
ketangan Dinda.
“Eh?”
“Gak apa. Gue kekelas
dulu ya.”
“I-iya, thanks banget.”
“Kalo lo mau, buat lo
ajah.”
“Hah? Serius?”
“Ya.”
‘Ya Tuhan...’ bisik
Dinda dalam hati.
***
Istirahat makan siang
bukanlah waktu untuk Dinda bersantai-santai tetapi ia harus belajar dengan giat
karena ia sore nanti ia harus menghadapi ujian di tempat kursusnya. Ia tidak
peduli dengan perutnya yang kosong dan berdemo untuk makan siang. Ia tetap
fokus belajar untuk ujian nanti.
“Din, lo gak mau makan
apa?” seru Linda.
“Iya, kasian noh perut
lo udah maen drum.” Tita menambahi.
Linda dan Tita
merupakan sahabat satu-satunya bagi Dinda di sekolah ini. Meskipun mereka juga
dari keluarga berada setidaknya mereka tidak berlebihan seperti murid-murid
yang lainnya. Sudah mendekati setahun lamanya mereka berteman, berawal sejak
berkenalan diacara MOS di sekolah. Dinda merasa bersyukur bahwa dirinya dapat
berteman dengan kedua orang itu.
“Gue gak laper.”
“Ciyusan[1]
nih?”
“Etdah Tita, jangan
jadi alay dulu.”
“Ish, Linda, Tita kan
cuman bercanda.”
“Mau makan gak Din?”
“Gak, makasih.”
“Yaudin[2].
Tita, ayo makan.”
Dinda menghela
nafasnya. Sebenarnya ia juga lapar, tetapi ia harus berhemat karena ia harus
pergi kursus sore ini. Dinda menghentikan gerakan penanya. Melihat sekilas buku
yang diberikan Deval tadi pagi. Tentu itu begitu menggelitik untuknya. Semangat
untuk belajar lebih giat tentu menjadi nomor satu akan buku itu. Ia berharap
jika suatu hari nanti ia dapat setara dengan Deval. Setara dengan pria yang
selalu menjadi buah bibir “The Perfect Boy Friend”.
“Semangat Dinda!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar