The Perfect Boy Friend
Oleh
Ressy Kartika Sari
Chapter 2
Sore itu tepat pukul
empat sore, dentingan bel tanda jam sekolah telah usai membuat suasana gaduh di
setiap pintu kelas. Tanpa ingin membuang waktu Dinda berlari
sekencang-kencangnya menuju tempat kursusnya. Tak membutuhkan waktu lama, hanya
sekitar lima empat puluh lima menit dengan berjalan kaki Dinda telah tiba
ditempat kursusnya. Ia terengah-engah sesampainya disana. Ia segera mencari
tempat kosong untuk belajar sebentar sebelum waktu ujian tiba.
‘Semangat Dinda, lo
pasti bisa’
Tak terasa waktu ujian pun
telah selesai. Dinda merasakan bahwa hari ini begitu berat untuknya. Makan
siang memang ia perlukan karena ia menjadi sangat lemas akibat tidak makan
siang. Namun ia tetap harus semangat untuk tiba dirumah. Setidaknya jika sampai
dirumah ia dapat melahap makanan yang ibunya buatkan untuknya.
Jalan kaki? Tentu saja.
Ia harus menyisihkan uang jajannya sedikit tentu untuk membeli gorengan didepan
taman kota karena perutnya sudah berdemo untuk diisi. Dengan uang lima ribu
rupiah ia membeli gorengan serta air mineral. Dinda duduk sebentar ditaman kota
untuk menikmati makan siangnya yang terlupakan. Meskipun waktu telah
menunjukkan sore menjelang malam, tetapi ia tidak salah untuk beristirahat
sebentar.
“Oi, Deval, udah lama
gue gak liat lo nongkrong[1]
disini?”
“Sorry, banyak tuntutan
idup gue hahaha.”
“Etdah, kocak hahaha.”
Dinda terdiam sejenak.
Baginya suara beberapa pria yang berdiri dibelakangnya seperti ia kenal.
Tunggu, salah satunya menyebutkan nama “Deval”. Tidak mungkin. Detak jantung
gadis ini begemuruh cukup kencang. Ia khawatir apa yang ia cemaskan terjadi.
Pria itu sungguhkan pria yang ia kenal?
SRET!
Dinda bungkam. Tidak
dapat berbicara apapun. Pria itu...
“Deval...” pekiknya.
Pria yang begitu ia
kagumi dengan wajah innocent serta kepolosan hatinya. Ia tertegun masih tak
mempercayai apa yang ia lihat. Pria itu kini tengah bersama dengan beberapa
perempuan berbaju sexy beberapa laki-laki teman satu sekolahnya. Yang lebih
mengejutkan lagi pria yang terkenal disekolah itu tengah merokok.
Tentu jika kau
diperhatikan oleh orang lain kau akan menyadarinya bukan? Tentu itu yang
terjadi pada Deval. Ia menoleh kearah Dinda yang masih tercengang melihatnya.
Deval menyipitkan matanya dan berjalan mendekati Dinda. Namun gadis lugu itu
tidak diam saja, ia berlari menghindari Deval.
Semakin kau berlari
kencang maka anjing besar itu semakin menginginkan kakimu. Deval pun
mengejarnya. Namun sungguh sial bagi Dinda, ia terpeleset oleh genangan air di
trotoar dan menyebabkan kepalanya terbetur. Melihat kepalanya berdarah, Dinda
menjadi shock dan pingsang.
‘Apakah gue akan hilang
ingatan?’
***
Dinda
mengerjap-erjapkan matanya. Mencari secercah cahaya yang mulai menembus pelupuk
matanya. Gadis ini membangunkan tubuhnya dari ranjang berukuran king size yang
begitu nyaman.
‘Dimana gue? Gak
mungkin dirumah gue? Apa mimpi?’
“Eh? Udah bangun?”
Dinda menoleh kearah
suara itu berasal. Ia terhenyak. Pria yang tadi mengejarnya kini berada
dihadapannya dengan gaya angkuh duduk disebuah kursi malas dekat jendela.
“Kok gue bisa disini?”
tanya Dinda cemas.
“Selamat datang dirumah
gue.”
Senyuman hangat penuh
makna membuat Dinda begidik dan bergeser menjauh ketika Deval datang kearahnya.
“Kenapa? Kok takut? Gue
gak akan membunuh lo kok.”
“Ta-tapi...”
“Sure. Ada satu
persyaratan. Maybe gak terlalu berat. Asalkan lo bermain cantik.”
“Ma-maksud lo?!”
“Gue harap lo gak akan
ngebocorin ini semua kesekolah besok. Atau...”
“Ngebocorin?!
Ngebocorin apaan?!”
“Lo gak usah berlagak
innocent didepan gue. Cewek munafik kayak lo, pasti bermulut besar.” ucap Deval
sarkatis
“Apa lo bilang?!
Munafik?! Bermulut besar?! Eh sadar dong kalo lo sendiri itu bermulut...”
“Sssttt,
berisik-berisik. Gue tau kok kalo suka sama gue.”
Dinda terdiam dengan
wajahnya yang mulai menghangat. Deval tertawa gembira dan melempar bukunya
secaranya sembarang dan secepat angin ia menindih Dinda.
“L-lo mao ngapain?!!
Gue gak suka sama lo!!! Demi tuhan gue gak mao suka sama lo!!!”
“Hahaha, ternyata
bener-bener cewek munafik. Okey, ayo kita buktikan.”
“Lo gila!!! Menjauh lo
dari gue!!!”
Deval berdecak
mengejek, “Perempuan gak boleh berbicara kasar dan gak sopan. Okeh, cukup
bermain-mainnya. Gue gak membuat ancaman seperti sebuah kaleng kerupuk buat lo.
Gue serius. Sebenernya sih gak ada ruginya juga kalo lo nyebarin semua prilakuk
gue diluar, tapi... palingan lo yang rugi.”
Deval mengeluarkan
ponselnya. Ia menunjukkan sebuah foto perempuan dengan baju sekolah sekolah
yang berantakkan. Pada bagian dadanya sedikit terbuka dan rok yang naik sampai
celana dalamnya terlihat. Dinda yang melihatnya tertohok. Tentu ia tahu siapa
gadis itu. Itu foto dirinya.
“ANJRIT LO!!! SINI
FOTONYA!!!” teriak Dinda.
“Enak aja. Lo pikir gue
bego kayak otak lo yang dangkal. Gue akan memberikan foto ini dengan satu dua
persyaratan.”
“Gak!!! Kesiniin itu
foto!!! Lo jadi cowok gak ada sopannya ya!!!”
“Hey, lo yang ngurusin
pribadi gue.”
“Siapa yang ngurusin
pribadi lo?!! Pada kenyataannya gue emang gak sengaja ketemu lo ditaman
kota!!!”
“Pembohong. Lo pikir
gue gak tahu kalo lo itu stalker gue?!”
Dinda terdiam.
“Kenapa diem?
Persyaratan foto ini gak kesebar gampang kok. Lo cukup bungkam dan menjadi
pembantu gue selama gue bersekolah di SMA Bintang Negeri.”
“Apa?!!” pekik Dinda.
“Lo pikir gue upik abu lo?!! Jangan mimpi deh tuan Deval yang terhormat!!!”
“Ahahaha, ya udah. Lo
sekarang bisa pulang kerumah lo. Hemmm, jangan lupa siapin mental lo besok. Itu
juga kalo lo punya muka buat dateng ke sekolah.”
“Ma-maksud lo? Lo mao
nyebarin foto itu?! Gila lo ya!! Maniak!!!”
“Kalo nyebarin kan
butuh waktu dan tenaga. Kalo dipajang dimading itu menghemat waktu kayaknya.
Atau... lewat whats up??? Wahhh, ide bagus tuh. Oh iya, katanya mau pulang.
Pintunya disitu.”
“Lo gila ya?! Gak
nyangka gue lo bisa kayak gini.”
“Jaga omongan lo. Semua
pilihan ada di lo dan gue gak maksa.”
“Iya! Gue mau jadi
pembantu lo.”
“Anak baik.”
“Sial.”
***
Dinda benar-benar
merasa sangat lesu dan tak bertenaga. Ia tidak dapat membayangkan menjadi
pembantu untuk pria yang ia kagumi. Tentu rasa kagum itu dihancurkan oleh Deval
sendiri dalam waktu beberapa jam. Sudah tidak ada rasa kagum lagi didalam
dirinya. Hasrat untuk satu kelas dikelas dua pun rasanya ingin ia binasakan
sesegera mungkin dan ia juga harus mengubah peta konsepnya serta menulis dibuku
hariannya untuk hari-hari penderitaan selama manjadi budak.
“Sial banget gue. Gak
nyangka kalo gue jadi pembantu dari cowok yang gue dewa-dewa kan selama ini.”
gumam Dinda.
“Lo ngomong apaan Din?”
tanya Linda.
“Gak ngomong apa-apa
kok. Oh iya, si Tita kemana? Dia lagi ke kantin atau kemana?”
“Tita kalo kekantin
pasti ngajak gue.”
“Lah? Terus dia dimana
sekarang?”
“Seperti biasa mao
ngeliat pangeran tampannya dia ditaman.”
“Eh? Maksud lo?”
“Siapa lagi coba kalo
bukan Deval.”
“Ish, pengeran apanya,
penyihir iya.” Sahut Dinda.
“Eh? Penyihir? Siapa
penyihir?”
“Bu-bukan, bukan
siapa-siapa kok.”
“Ohh, eh gimana ujian
lo kemaren? Sukses kan?”
“Tinggal liat hasilnya
nanti. Sumpah capek gue kemaren, rasanya pengen ngebunuh orang sekarang juga.”
“Et, jangan ngebunuh
gue yaa.”
“Sip deh.”
“Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!
Dinda!!! Linda!!!” jerit Tita histeris dari luar kelas. Dengan langkah seribu
Tita menghampiri Dinda dan Linda yang tercengang melihat temannya yang
kekanak-kanakkan ini. “Tadi Deval keren banget!!! Pas dia baca buku dia bersin!!!
Oh my god!!! Artis korea mah lewat!!! Bersinnya ajah keren. Akhirnya dapet
fotonya dia lagi bersin. Tinggal foto dia batuk atau demam. So cool!!!”
Dinda dan Linda hanya
dapat menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabat mereka yang satu ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar