The Perfect Boy Friend
Oleh
Ressy Kartika Sari
Pagi ini Dinda pergi ke
sekolah dengan lesu. Tidak seperti biasanya ia berangkat dengan membiarkan
rambutnya hanya terkuncir kuda dengan asal-asalan. Penyebabnya tidak lain
karena Deval menyuruhnya berangkat pagi-pagi buta. Entah penyiksaan apa lagi
yang akan diterima oleh gadis pendek ini.
Sesampainya di sekolah
Dinda masih terlihat cukup mengantuk karena semalam ia tidu sedikit terlambat
dan itu juga karena ulah dari perbuatan Deval. Dinda berjalan menyusuri koridor
sekolah. Di depan ruangan OSIS sudah menanti Deval yang tengah berkacak
pinggang dan jengah melihat ekspresi wajah Dinda.
“Ngapain lo disini?
Kayak petugas sekolah ajah pagi-pagi buta udah nyampe sekolahan.” Ejek Dinda.
Deval tak menyahut
sedikit pun dan bergegas masuk kedalam ruangan OSIS. Dinda hanya memutar
matanya dan berjalan mengikuti Deval.
“Woy, woy. Lo marah
sama gue? Jiahhh, gak nyangka gue lo bisa marah. Deval kan angle-nya
D-Fansclub, masa bisa ngambek. Udah kayak bayi. Ish, nih orang ngambek terus.
Apa sih kesenangan dalam idup lo selain buat gue menderita?”
“Udah ngomongnya?”
“Eh?”
“Lanjutin kerjaan
kemaren.” Perintah Deval.
“Ish, dasar manusia es
batu, es balok juga boleh.” Gerutu Deval.
Tepat pukul setengah
tujuh pagi Dinda telah menyelesaikan semua tugas yang Deval perintahkan. Ia
menghela nafas dan duduk dikursi untuk bersantai sebentar.
“Lo bisa balik ke kelas
sekarang.”
“Apa?! Lo gak ijinin
gue istirahat sebentar ajah. Kejam lo.”
“Kan istirahat bisa
dikelas.”
“Lo nyebelin banget
sih!!!”
***
Dinda terus merengut
akibat ulah Deval sejak pagi tadi. Ya, tapi seperti biasanya ia hanya
menggerutu dalam hati. Ia tidak mungkin berteriak kencang dihadapan temannya,
karena ia berani bersumpah, ia tidak ingin seluruh teman-temannya tahu bahwa ia
kini dekat dengan pria yang dikagumi teman-temannya.
“Lo kenapa, Din?” tanya
Linda.
“Gak apa-apa.”
“Dari tadi tampang lo
jelek tuh, makanya Linda nanya.” Sambar Tita cuek.
“Gue lagi kesel sama
orang.”
“Je? Siapa?” sahut
Linda dan Tita bersamaan.
“You know who.”
“Set-dah, udah kayak
voldemort di Harry Potter.”
“Iya banget, dia emang
voldemort versi sekolah kita.”
“Wow serem juga tuh.”
Dinda kembali memainkan
penanya. Namun Linda dan Tita masih tetap bercanda dan mereka jadi asik sendiri
menceritakan film Harry Potter. Dinda hanya mencibir melihat tingkah kedua
temannya itu.
Ketika Dinda hendak
membaca bukunya, terdengar suara bisik-bisik beberapa teman sekelasnya yang
dari toilet. Ia mulai penasaran. Namun rasa penasaran itu hilang ketika ia tahu
bahwa ternyata Deval dengan beberapa temannya yang merupakan wakilnya di OSIS
serta bendahara dan sekertasrisny datang ke kelas Dinda dengan membawa beberapa
lembar kertas.
“Anak-anak tenang
sebentar.” Seru Ibu Friska.
“Permisi bu, ada
informasi sebentar dari OSIS. Maaf bu, jika ini sedikit menganggu pelajaran
sebentar.”
“Iya-iya, tidak
apa-apa.”
Deval tersenyum hangat.
“Anak-anak minta
perhatiannya sebentar, ketua OSIS kita ingin berbicara.”
“Assalamu’alaikum
wr.wb. Kami mewakili OSIS ingin membaritahukan bahwa sekolah kita akan
mengadakan acara class meeting. Di acara ini akan ada kegiatan yang seperti
tahun kemarin namun ada yang berbeda buat tahun ini, hadiahnya makin banyak
buat yang tertarik. Acara ini akan diadakan setelah ujian akhir semester ganjil
nanti. Nah, kalo ada yang berminat dapat menghubungi nomor 0858-83**-****.
Gimana teman-teman sudah mengerti belum?” papar wakil ketua OSIS.
Salah satu anak
mengacungkan tangannya. “Saya masih gak
ngerti. Coba deh kalo ketua OSIS-nya yang ngejelasin, mungkin saya bisa
paham. Atau gak kontak person-nya mau punya ketua OSIS-nya ajah.”
Dinda hanya memandang
salah satu temannya itu dengan jijik. Deval tersenyum hangat dan meraih sebuah
spidol papan tulis kemudian menuliskan nomor ponselnya.
“Maaf sebelumnya, nomor
ponsel saya ini buat yang kalo gak mengerti ajah ya.”
“Oke.”
“Ish, modus-nya
keliatan banget sih.” Desis Dinda.
“Gyaaa, Linda, itu
Deval ngasih nomornya. Catet ah.” Bisik Tita.
“Terserah lo ajah deh.”
Sahut Linda.
Deval mengedarkan
pandangannya keseluruh isi kelas. Pandangannya terhenti kearah Dinda yang
sedang berpura-pura acuh tak acuh melihat keberadaan Deval. Namun Deval hanya
tertawa kecil. Hal itu menimbulkan sedikit suara gaduh akibat ekspresi Deval
yang tidak biasa.
“Ish, apa banget sih
mereka.” Gerutu Dinda.
***
Deval mengetuk-etukkan
jari-jarinya diatas meja. Tampak memikirkan sebuah solusi yang hendak ia
lancarkan. Beberapa kawannya yang juga satu oraganisasi dengannya memandang
aneh terhadap dirinya. Kebetulan seluruh kawan dekatnya satu organisasi
dengannya dan mengatahui sosok Deval yang sebenarnya seperti apa. Salah satu
diantaranya menyadarkannya untuk kembali kedunia yang fana ini.
“Lagi mikirin apaan?”
tanya Rizki.
“Gak ada apa-apa kok.”
“Tumben gak masuk
kelas.”
“Lagi males.”
“WOW keren banget
seorang Deval bisa males masuk kelas.”
“Gue manusia juga
kali.”
“Oh iya gue lupa.
Malahan tadinya gue kira lo itu robot. Hahaha.”
“Gak lucu.”
“Oke deh sip bos
ganteng.”
Deval hanya tersenyum
kecut.
“Besok ada ulangan
harian, nanti malem lo jadi ketemu Nazwa?”
“Gak tau. Gue lagi gak
mood buat jalan.”
“Yaaa, se-enggaknya lo
konfirmasi dari sekarang lah. Biar si Nazwa gak ngusik lo nanti malem kalo lo
emang lagi gak mood.”
“Bodo.”
“Yeee, nanti idup lo
gak tenang lagi kalo lo gak konfirmasi sekarang.”
“Tinggal putusin.”
“Etdah, udah kayak
kacang goreng ajah cewek bagi lo. Padahal Nazwa cantik loh. Kenapa lo
sia-sia-in. Lagian juga dia dari keluarga bener-bener.”
“Yakin lo? Kemaren dia
ngajak gue tidur sama dia.” Deval tersenyum mengejek.
“Lo serius? Tapi lo gak
tanggepin kan?”
“Menurut lo?”
“I don’t know. Please
tell me guys.”
“Kepo banget sih lo.”
“Settt, gue kan sahabat
lo. Ngebanyol ajah deh lo.”
“Hape gue dimana?”
tanya Deval.
“Di meja tuh.”
Deval mengambil
hape-nya nan menekan keyword untuk mengaktifkan hape-nya. Kemudian bertanya
kepada Rizki, “Minta nomor Dinda dong.”
“Eh? Dinda? Dinda yang
mana?”
“Dinda kelas X-3.”
“Ohhh, maksud lo Dinda
Widya Purnama?”
“Kok lo bisa tau nama
lengkapnya?” tanya Deval dengan intonasi menyelidik.
“Dia yang kemaren lo
ajak ketempat tongkrongan kita kan? Ya iyalah gue kenal dia, dia itu anak
beasiswa di sekolah kita. Semua pasti tau-lah. Yang dapet beasiswa itu kan
cuman tujuh orang doang dari angkatan kita.”
“Wow, anak beasiswa
yaa...”
“Eh? Lo gak mao
ngerjain dia kan? Kasian dia. Lo jangan ganggu dia. Kalo lo ngeresein yang lain
mah gak masalah. Tapi jangan dia.”
“Kenapa? Lo suka?”
“Lo jangan negative
thinking dulu. Sumpah pokoknya jangan sampe beasiswanya dia dicabut. Kalo
beasiswanya sampe dicabut, dia gak bakalan sekolah disini lagi.”
“Gue minta nomornya
dia.”
“Eh? Tuh lo ngalihin
pembicaraan lagi.”
“Udah buruan, mana
nomornya.”
“0856-854*-****. Eh
pokoknya lo jangan ngelakuin tindakan macem-macem deh.”
“Berisik lo.”
***
Deval terseyum penuh
kemenangan ketika Dinda datang ke ruang OSIS dengan wajah cemberut dan penuh
dengan rasa kesal yang memuncak. Rizki yang melihatnya hanya dapat menaruh
simpati terhadap Dinda. Karena saat ini Dinda adalah sebuah mainan yang sangat
diminati untuk Deval.
“Wow, miss bawel udah
dateng.”
“Lo nyebelin banget sih
jadi manusia! Lo gak tau apa kalo ini masih jam pelajaran! Gara-gara lo gue
bohong mao ke toilet dan gue gak tau lo bakalan nahan gue dalam jeruji besi lo
sampe berapa lama! Akhhhh! Gue kan bisa ketinggalan mata pelajaran matematika
kalo gini caranya! Gue benci banget sama lo!!!” cerocos Dinda.
Deval hanya tertawa.
“Kenapa?! Lucu?! Ish!
Darimana lo bisa dapet nomor gue?! Gue kan gak pernah ngasih lo nomor gue!
Akhhh!!!! Bete!!!”
“Kayaknya temen kita
udah dapet badut baru.” Papar Jani.
“Deval mah sukanya yang
bikin gaduh sih.” Ujar Mita risih.
“Kan menarik, bagi
Deval tentunya.” Sambar Fariz.
“Eh, udah-udah. Jangan
ganggu. Biarin ajah tuh Deval mau ngapain.” Cetus Rangga.
“Idih, tiap hari
bukannya selalu buat Deval seneng.” Cerocos Mita.
“Lo cemburu ya??” ledek
Rangga.
“No, thanks.”
Dinda semakin kesal
mendengar argumen dari anggota OSIS yang baru dilantik beberapa bulan yang
lalu. Sebenarnya alasan pemilihan OSIS dengan kandidat kelas X dan XI adalah
agar mampu menggenggap tanggung jawab yang kuat. Sangat kebetulan pada tahun
ini, kandidat dari kelas X-lah yang memenangkan suara terbanyak. Tentu kita
semua tahu-lah alasan suara terbanyak jatuh di kandidat kelas X.
Dinda sebenarnya sangat
benci dengan anggota OSIS di sekolah sekarang. Dia beranggapan bahwa mereka
yang terpilih terlalu angkuh untuk masuk ke dalam organisasi yang merupakan
jantung bagi seluruh oraganisasi sekolah. Ia mulai membenci OSIS-pun ketika mereka
menjabat di OSIS. Yaa, awalnya yang Dinda kagumi sosok Deval yang dapat memimpin
dengan bijaksana. Tetapi setelah peristiwa beberapa hari yang lalu, tentu
seluruh anggota OSIS kini sangat ia benci. Terlebih Deval.
“Duduk sini. Ngapain
berdiri disitu.” Deval menepuk sofa disampingnya agar Dinda duduk disana. “Gak
bisulan kan pantatnya?”
Ucapan Deval mampu
menimbulkan gelak tawa bagi seluruh anggota OSIS. Hal itu tentu membuat Dinda
semakin gerah dan tersungut-sungut. Ia berjalan seperti hal-nya preman pasar
dan duduk di sofa namun tidak disamping Deval. Namun Deval bangkit dan menarik
Dinda. Tentu saja hal itu membuat Dinda terhuyung kearahnya. Mereka jatuh
diatas sofa dengan pose Deval terduduk di sofa dan Dinda duduk di pangkuan
Deval.
“Ternyata lo agresif
juga.”
“Apa?!”
Dengan wajah yang merah
merona, Dinda hendak beranjak dari pangkuan pria tampan itu. Namun Deval
menahannya dengan memeluk tubuhnya.
“Ish Deval!! Apa-apaan
sih?!!”
“Eh, udah yuk keluar.”
Ajak Fariz.
“Males jadinya disini.”
Sahut Mita.
Dinda semakin kelabakan
ketika seluruh anggota OSIS lainnya keluar ruangan. Hanya tersisa dirinya dan
pria itu. Posisi mereka pun membuat Dinda merasa tidak nyaman. Dinda merasa
deru nafas Deval lehernya. Ia berusaha menghindar. Ia merasa ada yang tidak
benar. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Lo apa-apaan sih!
Jangan deket-deket!”
“Lo bawel banget sih.
Semua cewek seneng gue giniin.”
“Gue terkecuali! Gue
gak naksir lo! Dan semisal gue naksir lo, gue masih punya akal sehat! Gak kayak
cewek-cewek lo!”
“Ohh, gitu ya?”
“Iya! Jadi lepasin
gue!”
“Hmmm, gimana ya? Gue
mau nyoba bibir lo. Boleh gak? Oh iya, gak perlu izin. Langsung ajah yaaa, lo
kan pembantu gue.”
Dengan gugup Dinda
mendorong tubuh Deval. Ia berhasil melepaskan diri. Kegugupannya itu mampu
membuat nafasnya terengah-engah. Ia berkacak pinggang didepan pria yang hampir
saja merebut first kiss-nya.
“Denger ya! Antara
pembantu sama majikan tentu ada yang namanya profesionalitas. Okeh gue akuin
gue pembantu lo. Tapi gue harap kita punya profesionalitas itu. Gue jadi
pembantu lo ya cuman untuk mengerjakan semua perintah lo untuk gue kerjain.
Tapi kalo soal ciuman atau hal sebagainya, itu gak bisa! Itu gak ada dinaskah
pembantu! Itu cuman ada dinaskah perempuan bayaran! Ngerti lo?”
Deval hanya tersenyum
mendengar pemaparan Dinda.
“Lagi juga lo kan udah
punya banyak cewek, lo pasti bisa ajah kan dapetin ciuman dari mereka. Kenapa
harus gue? Lo gak liat, gue gak ada sisi cantik sedikit pun. Gue jelek. Oke?
Kalo lo macem-macem lagi, gue bisa teriak dan bilang kalo lo mao perkosa gue!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar