Ressy

HIDUP SEPERTI BAWANG!!! Always Love for SAINS!

Jumat, 11 Januari 2013

The Perfect Boy Friend Chapter 4


The Perfect Boy Friend

Oleh Ressy Kartika Sari



Chapter 4

 
Pagi ini Dinda pergi ke sekolah dengan lesu. Tidak seperti biasanya ia berangkat dengan membiarkan rambutnya hanya terkuncir kuda dengan asal-asalan. Penyebabnya tidak lain karena Deval menyuruhnya berangkat pagi-pagi buta. Entah penyiksaan apa lagi yang akan diterima oleh gadis pendek ini.
Sesampainya di sekolah Dinda masih terlihat cukup mengantuk karena semalam ia tidu sedikit terlambat dan itu juga karena ulah dari perbuatan Deval. Dinda berjalan menyusuri koridor sekolah. Di depan ruangan OSIS sudah menanti Deval yang tengah berkacak pinggang dan jengah melihat ekspresi wajah Dinda.
“Ngapain lo disini? Kayak petugas sekolah ajah pagi-pagi buta udah nyampe sekolahan.” Ejek Dinda.
Deval tak menyahut sedikit pun dan bergegas masuk kedalam ruangan OSIS. Dinda hanya memutar matanya dan berjalan mengikuti Deval.
“Woy, woy. Lo marah sama gue? Jiahhh, gak nyangka gue lo bisa marah. Deval kan angle-nya D-Fansclub, masa bisa ngambek. Udah kayak bayi. Ish, nih orang ngambek terus. Apa sih kesenangan dalam idup lo selain buat gue menderita?”
“Udah ngomongnya?”
“Eh?”
“Lanjutin kerjaan kemaren.” Perintah Deval.
“Ish, dasar manusia es batu, es balok juga boleh.” Gerutu Deval.
Tepat pukul setengah tujuh pagi Dinda telah menyelesaikan semua tugas yang Deval perintahkan. Ia menghela nafas dan duduk dikursi untuk bersantai sebentar.
“Lo bisa balik ke kelas sekarang.”
“Apa?! Lo gak ijinin gue istirahat sebentar ajah. Kejam lo.”
“Kan istirahat bisa dikelas.”
“Lo nyebelin banget sih!!!”
***
Dinda terus merengut akibat ulah Deval sejak pagi tadi. Ya, tapi seperti biasanya ia hanya menggerutu dalam hati. Ia tidak mungkin berteriak kencang dihadapan temannya, karena ia berani bersumpah, ia tidak ingin seluruh teman-temannya tahu bahwa ia kini dekat dengan pria yang dikagumi teman-temannya.
“Lo kenapa, Din?” tanya Linda.
“Gak apa-apa.”
“Dari tadi tampang lo jelek tuh, makanya Linda nanya.” Sambar Tita cuek.
“Gue lagi kesel sama orang.”
“Je? Siapa?” sahut Linda dan Tita bersamaan.
“You know who.”
“Set-dah, udah kayak voldemort di Harry Potter.”
“Iya banget, dia emang voldemort versi sekolah kita.”
“Wow serem juga tuh.”
Dinda kembali memainkan penanya. Namun Linda dan Tita masih tetap bercanda dan mereka jadi asik sendiri menceritakan film Harry Potter. Dinda hanya mencibir melihat tingkah kedua temannya itu.
Ketika Dinda hendak membaca bukunya, terdengar suara bisik-bisik beberapa teman sekelasnya yang dari toilet. Ia mulai penasaran. Namun rasa penasaran itu hilang ketika ia tahu bahwa ternyata Deval dengan beberapa temannya yang merupakan wakilnya di OSIS serta bendahara dan sekertasrisny datang ke kelas Dinda dengan membawa beberapa lembar kertas.
“Anak-anak tenang sebentar.” Seru Ibu Friska.
“Permisi bu, ada informasi sebentar dari OSIS. Maaf bu, jika ini sedikit menganggu pelajaran sebentar.”
“Iya-iya, tidak apa-apa.”
Deval tersenyum hangat.
“Anak-anak minta perhatiannya sebentar, ketua OSIS kita ingin berbicara.”
“Assalamu’alaikum wr.wb. Kami mewakili OSIS ingin membaritahukan bahwa sekolah kita akan mengadakan acara class meeting. Di acara ini akan ada kegiatan yang seperti tahun kemarin namun ada yang berbeda buat tahun ini, hadiahnya makin banyak buat yang tertarik. Acara ini akan diadakan setelah ujian akhir semester ganjil nanti. Nah, kalo ada yang berminat dapat menghubungi nomor 0858-83**-****. Gimana teman-teman sudah mengerti belum?” papar wakil ketua OSIS.
Salah satu anak mengacungkan tangannya. “Saya masih gak  ngerti. Coba deh kalo ketua OSIS-nya yang ngejelasin, mungkin saya bisa paham. Atau gak kontak person-nya mau punya ketua OSIS-nya ajah.”
Dinda hanya memandang salah satu temannya itu dengan jijik. Deval tersenyum hangat dan meraih sebuah spidol papan tulis kemudian menuliskan nomor ponselnya.
“Maaf sebelumnya, nomor ponsel saya ini buat yang kalo gak mengerti ajah ya.”
“Oke.”
“Ish, modus-nya keliatan banget sih.” Desis Dinda.
“Gyaaa, Linda, itu Deval ngasih nomornya. Catet ah.” Bisik Tita.
“Terserah lo ajah deh.” Sahut Linda.
Deval mengedarkan pandangannya keseluruh isi kelas. Pandangannya terhenti kearah Dinda yang sedang berpura-pura acuh tak acuh melihat keberadaan Deval. Namun Deval hanya tertawa kecil. Hal itu menimbulkan sedikit suara gaduh akibat ekspresi Deval yang tidak biasa.
“Ish, apa banget sih mereka.” Gerutu Dinda.
***
Deval mengetuk-etukkan jari-jarinya diatas meja. Tampak memikirkan sebuah solusi yang hendak ia lancarkan. Beberapa kawannya yang juga satu oraganisasi dengannya memandang aneh terhadap dirinya. Kebetulan seluruh kawan dekatnya satu organisasi dengannya dan mengatahui sosok Deval yang sebenarnya seperti apa. Salah satu diantaranya menyadarkannya untuk kembali kedunia yang fana ini.
“Lagi mikirin apaan?” tanya Rizki.
“Gak ada apa-apa kok.”
“Tumben gak masuk kelas.”
“Lagi males.”
“WOW keren banget seorang Deval bisa males masuk kelas.”
“Gue manusia juga kali.”
“Oh iya gue lupa. Malahan tadinya gue kira lo itu robot. Hahaha.”
“Gak lucu.”
“Oke deh sip bos ganteng.”
Deval hanya tersenyum kecut.
“Besok ada ulangan harian, nanti malem lo jadi ketemu Nazwa?”
“Gak tau. Gue lagi gak mood buat jalan.”
“Yaaa, se-enggaknya lo konfirmasi dari sekarang lah. Biar si Nazwa gak ngusik lo nanti malem kalo lo emang lagi gak mood.”
“Bodo.”
“Yeee, nanti idup lo gak tenang lagi kalo lo gak konfirmasi sekarang.”
“Tinggal putusin.”
“Etdah, udah kayak kacang goreng ajah cewek bagi lo. Padahal Nazwa cantik loh. Kenapa lo sia-sia-in. Lagian juga dia dari keluarga bener-bener.”
“Yakin lo? Kemaren dia ngajak gue tidur sama dia.” Deval tersenyum mengejek.
“Lo serius? Tapi lo gak tanggepin kan?”
“Menurut lo?”
“I don’t know. Please tell me guys.”
“Kepo banget sih lo.”
“Settt, gue kan sahabat lo. Ngebanyol ajah deh lo.”
“Hape gue dimana?” tanya Deval.
“Di meja tuh.”
Deval mengambil hape-nya nan menekan keyword untuk mengaktifkan hape-nya. Kemudian bertanya kepada Rizki, “Minta nomor Dinda dong.”
“Eh? Dinda? Dinda yang mana?”
“Dinda kelas X-3.”
“Ohhh, maksud lo Dinda Widya Purnama?”
“Kok lo bisa tau nama lengkapnya?” tanya Deval dengan intonasi menyelidik.
“Dia yang kemaren lo ajak ketempat tongkrongan kita kan? Ya iyalah gue kenal dia, dia itu anak beasiswa di sekolah kita. Semua pasti tau-lah. Yang dapet beasiswa itu kan cuman tujuh orang doang dari angkatan kita.”
“Wow, anak beasiswa yaa...”
“Eh? Lo gak mao ngerjain dia kan? Kasian dia. Lo jangan ganggu dia. Kalo lo ngeresein yang lain mah gak masalah. Tapi jangan dia.”
“Kenapa? Lo suka?”
“Lo jangan negative thinking dulu. Sumpah pokoknya jangan sampe beasiswanya dia dicabut. Kalo beasiswanya sampe dicabut, dia gak bakalan sekolah disini lagi.”
“Gue minta nomornya dia.”
“Eh? Tuh lo ngalihin pembicaraan lagi.”
“Udah buruan, mana nomornya.”
“0856-854*-****. Eh pokoknya lo jangan ngelakuin tindakan macem-macem deh.”
“Berisik lo.”
***
Deval terseyum penuh kemenangan ketika Dinda datang ke ruang OSIS dengan wajah cemberut dan penuh dengan rasa kesal yang memuncak. Rizki yang melihatnya hanya dapat menaruh simpati terhadap Dinda. Karena saat ini Dinda adalah sebuah mainan yang sangat diminati untuk Deval.
“Wow, miss bawel udah dateng.”
“Lo nyebelin banget sih jadi manusia! Lo gak tau apa kalo ini masih jam pelajaran! Gara-gara lo gue bohong mao ke toilet dan gue gak tau lo bakalan nahan gue dalam jeruji besi lo sampe berapa lama! Akhhhh! Gue kan bisa ketinggalan mata pelajaran matematika kalo gini caranya! Gue benci banget sama lo!!!” cerocos Dinda.
Deval hanya tertawa.
“Kenapa?! Lucu?! Ish! Darimana lo bisa dapet nomor gue?! Gue kan gak pernah ngasih lo nomor gue! Akhhh!!!! Bete!!!”
“Kayaknya temen kita udah dapet badut baru.” Papar Jani.
“Deval mah sukanya yang bikin gaduh sih.” Ujar Mita risih.
“Kan menarik, bagi Deval tentunya.” Sambar Fariz.
“Eh, udah-udah. Jangan ganggu. Biarin ajah tuh Deval mau ngapain.” Cetus Rangga.
“Idih, tiap hari bukannya selalu buat Deval seneng.” Cerocos Mita.
“Lo cemburu ya??” ledek Rangga.
“No, thanks.”
Dinda semakin kesal mendengar argumen dari anggota OSIS yang baru dilantik beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya alasan pemilihan OSIS dengan kandidat kelas X dan XI adalah agar mampu menggenggap tanggung jawab yang kuat. Sangat kebetulan pada tahun ini, kandidat dari kelas X-lah yang memenangkan suara terbanyak. Tentu kita semua tahu-lah alasan suara terbanyak jatuh di kandidat kelas X.
Dinda sebenarnya sangat benci dengan anggota OSIS di sekolah sekarang. Dia beranggapan bahwa mereka yang terpilih terlalu angkuh untuk masuk ke dalam organisasi yang merupakan jantung bagi seluruh oraganisasi sekolah. Ia mulai membenci OSIS-pun ketika mereka menjabat di OSIS. Yaa, awalnya yang Dinda kagumi sosok Deval yang dapat memimpin dengan bijaksana. Tetapi setelah peristiwa beberapa hari yang lalu, tentu seluruh anggota OSIS kini sangat ia benci. Terlebih Deval.
“Duduk sini. Ngapain berdiri disitu.” Deval menepuk sofa disampingnya agar Dinda duduk disana. “Gak bisulan kan pantatnya?”
Ucapan Deval mampu menimbulkan gelak tawa bagi seluruh anggota OSIS. Hal itu tentu membuat Dinda semakin gerah dan tersungut-sungut. Ia berjalan seperti hal-nya preman pasar dan duduk di sofa namun tidak disamping Deval. Namun Deval bangkit dan menarik Dinda. Tentu saja hal itu membuat Dinda terhuyung kearahnya. Mereka jatuh diatas sofa dengan pose Deval terduduk di sofa dan Dinda duduk di pangkuan Deval.
“Ternyata lo agresif juga.”
“Apa?!”
Dengan wajah yang merah merona, Dinda hendak beranjak dari pangkuan pria tampan itu. Namun Deval menahannya dengan memeluk tubuhnya.
“Ish Deval!! Apa-apaan sih?!!”
“Eh, udah yuk keluar.” Ajak Fariz.
“Males jadinya disini.” Sahut Mita.
Dinda semakin kelabakan ketika seluruh anggota OSIS lainnya keluar ruangan. Hanya tersisa dirinya dan pria itu. Posisi mereka pun membuat Dinda merasa tidak nyaman. Dinda merasa deru nafas Deval lehernya. Ia berusaha menghindar. Ia merasa ada yang tidak benar. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Lo apa-apaan sih! Jangan deket-deket!”
“Lo bawel banget sih. Semua cewek seneng gue giniin.”
“Gue terkecuali! Gue gak naksir lo! Dan semisal gue naksir lo, gue masih punya akal sehat! Gak kayak cewek-cewek lo!”
“Ohh, gitu ya?”
“Iya! Jadi lepasin gue!”
“Hmmm, gimana ya? Gue mau nyoba bibir lo. Boleh gak? Oh iya, gak perlu izin. Langsung ajah yaaa, lo kan pembantu gue.”
Dengan gugup Dinda mendorong tubuh Deval. Ia berhasil melepaskan diri. Kegugupannya itu mampu membuat nafasnya terengah-engah. Ia berkacak pinggang didepan pria yang hampir saja merebut first kiss-nya.
“Denger ya! Antara pembantu sama majikan tentu ada yang namanya profesionalitas. Okeh gue akuin gue pembantu lo. Tapi gue harap kita punya profesionalitas itu. Gue jadi pembantu lo ya cuman untuk mengerjakan semua perintah lo untuk gue kerjain. Tapi kalo soal ciuman atau hal sebagainya, itu gak bisa! Itu gak ada dinaskah pembantu! Itu cuman ada dinaskah perempuan bayaran! Ngerti lo?”
Deval hanya tersenyum mendengar pemaparan Dinda.
“Lagi juga lo kan udah punya banyak cewek, lo pasti bisa ajah kan dapetin ciuman dari mereka. Kenapa harus gue? Lo gak liat, gue gak ada sisi cantik sedikit pun. Gue jelek. Oke? Kalo lo macem-macem lagi, gue bisa teriak dan bilang kalo lo mao perkosa gue!”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate My Post